Syekh Ali As-Shabuni dan Masalah Khilafiyah yang Tak Kunjung Usai
Beberapa hari lalu, kita dikejutkan dengan kabar duka wafatnya Syekh Muhammad Ali bin Jamil As-Shabuni Al-Halabi atau biasa dikenal Syekh Ali As-Shabuni. ggpygn.com menulis artikel tentang berita ini di situsnya. Syekh Ali As-Shabuni wafat di Kota Yalova, dekat Istanbul, Turki, pada Jumat dhuha, 6 Sya’ban 1442 H atau 19 Maret 2021 M.
Kita semua berduka atas kepulangan guru besar ilmu tafsir pada Universitas Ummul Qura, Makkah; dan guru besar pada Fakultas Syariah dan Dirasah Islamiyah Universitas King Abdul Aziz, Makkah.
Syekh Ali As-Shabuni (1930 M-2021 M) bukan nama yang asing. Pada 2004 M saya mengikuti pengajian Kitab Shafwatut Tafasir (3 jilid) karya Syekh Ali As-Shabuni yang diselenggarakan di Masjid Raya Pondok Indah.
Syekh Ali As-Shabuni merupakan akademisi lulusan Al-Azhar yang cukup telaten. Ia menulis Shafwatut Tafasir selama lima tahun. Setiap kalimat yang ditulisnya didahului oleh pembacaan atas kitab-kitab tafsir primer karya para ulama tafsir terdahulu. Ia menyusun karyanya secara rapi dan sistematis. Ia menjelaskan makna umum sebuah ayat, relasinya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, unsur kebahasaan dan derivasinya, asbabun nuzul, penafsiran, kajian balaghah, dan informasi seputarnya.
Sebelumnya saya tahu nama Syekh Ali As-Shabuni dari alm kakek saya KH Hasbullah (1928-2016 M). Kakek saya masih menyimpan Kitab Al-Hadyun Nabawis Shahih fi Shalatit Tarawih (1983 M) karya Syekh Ali As-Shabuni yang digunakan pada pengajian pasaran bersama gurunya dan guru saya juga, KH M Syafi’i Hadzami (1931-2006), pada 1988 M.
Kitab Rawa’iul Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam minal Qur’an (2 jilid) karya Syekh Ali As-Shabuni juga banyak membantu kerja-kerja penulisan keislaman di berbagai website keislaman. Kitab Rawa’iul Bayan berisi penjelasan secara detail terkait ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Karya lainnya adalah At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, sebuah kajian penting pengantar dalam memahami Al-Qur’an, dan masih banyak karya lain Syekh Ali As-Shabuni.
Salah Fokus Umat Islam
Syekh M Ali As-Shabuni dalam pengantar dan penutup Kitab Al-Hadyun Nabawis Shahih fi Shalatit Tarawih mengungkapkan keresahannya perihal perhatian umat Islam. Umat Islam salah mengambil fokus perhatian. Umat Islam salah mengategorikan mana masalah pokok dan masalah cabang dalam agama.
Menurutnya, umat Islam mengalami kemunduran berpikir ketika menghabiskan waktu dan energi pada masalah furu’iyah. Ia mengakui bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama, misalnya perihal bilangan rakaat shalat tarawih (8 atau 20 rakaat), tidak dapat dipungkiri. Tetapi perbedaan pendapat itu bukan mengharuskan umat Islam untuk mengerahkan tenaga dan perhatian pada masalah perbedaan tersebut, bahkan melahirkan fanatisme dan perpecahan di tengah umat Islam. (As-Shabuni, 1983 M: 9).
Umat Islam, menurutnya, berlarut-larut dalam pertikaian dan perdebatan berkepanjangan karena perbedaan furu’iyah tersebut. Ini menandai kemunduran dan ketertinggalan umat Islam dalam peradaban kemanusiaan setelah mereka awalnya menjadi pioner dan pemimpin peradaban dunia.
Yang cukup mengherankan, katanya, mereka yang membawa “dosa penyimpangan” dari jalan Islam yang lurus maju ke depan untuk memimpin umat. Mereka mengaku berilmu dan mendakwakan diri sebagai pelopor yang menghidupkan sunnah salafus saleh. Mereka mengaku dalam khayalnya telah sampai pada makam ijtihad yang belum dicapai oleh ulama di zaman mereka. Tetapi mereka mengeluarkan pendapat-pendapat aneh dan gharib yang bertentangan dengan mayoritas ulama salaf dan khalaf.
Syekh M Ali As-Shabuni mengutip sebuah syair yang secara satir menggambarkan pemuka agama yang tenggelam dalam pertikaian furu’iyah berlarut-larut.
Wahai ulama zaman, wahai garam negeri/siapakah yang memperbaiki kualitas garam bila garam telah rusak…
Menurut Syekh Ali As-Shabuni, agama seharusnya menyatukan hati, merapatkan barisan, dan mengokohkan tiang-tiang persaudaraan. Semua rusak hari ini karena kebodohan dan hawa nafsu yang menjadi sebab pertumpahan darah, pertikaian, dan perseturuan yang merenggangkan ikatan ukhuwwah.
Mereka kok bisa menghidupkan api permusuhan sesama muslim dan mengobarkan kekacauan di masyarakat hanya karena masalah-masalah yang fleksibel seperti penggunaan biji tasbih untuk berzikir, meletakkan tangan ketika shalat, jumlah rakaat tarawih, pengecupan tangan ulama, berdiri untuk menghormati kedatangan tamu, zikir berjamaah, atau ucapan qari “shadaqallāhul azhīm” seusai membaca Al-Qur’an, dan masalah furu’iyah lain yang tidak perlu diperdebatkan dan diperselisihkan. (As-Shabuni, 1983 M: 10).
Mereka, kata Syekh Ali As-Shabuni, menempatkan masalah partikular-juz’iyah dan cabang-furu’iyah sebagai masalah pokok atau substansi agama atau ushuliyah yang harus diperhatikan oleh umat Islam seperti soal akidah dan soal dekadensi moral. Belum lagi masalah penting umat Islam yang belum selesai seperti masalah pendidikan, masalah kesejahteraan, atau perkembangan sains.
Yang lebih mengherankan lagi, perpecahan, pertikaian, permusuhan, pertumpahan darah umat Islam hari ini dibungkus dengan jargon dan semangat apa yang mereka namai sebagai “menghidupkan kembali agama,” atau kadang dengan jargon “menghidupkan cara hidup salafus saleh.” Padahal salafus saleh berlepas diri dari mereka. Semua itu merupakan tipu daya agar umat Islam hanya memperhatikan masalah-masalah kecil yang melahirkan perpecahan di tengah umat Islam. Sementara Allah mewajibkan kita untuk bersatu dan berpegang pada tali Allah. (As-Shabuni, 1983 M: 11).
Kalau mereka memang berkhidmah pada agama, niscaya mereka akan membiarkan umat Islam shalat tarawih 8 atau 20 rakaat, berzikir dengan tangan atau rosario (biji tasbih), atau berzikir sendiri-sendiri atau berjamaah. Mereka tidak akan mempermasalahkan perbedaan tersebut. Apakah mereka tidak ingat sabda Rasulullah, “Sungguh agama ini mudah. Tidak ada yang mempersulitnya kecuali agama itu akan menyulitkannya,” dan sabda Rasulullah SAW, “Bawalah kabar gembira. Jangan kalian takut-takuti mereka. Mudahkanlah mereka. Jangan kalian mempersulit mereka.”
Kritik untuk Kelompok Salafi
Syekh Ali As-Shabuni berpesan agar umat Islam mengutamakan persatuan, tetapi tidak harus seragam dalam tata cara beragama. Artinya, persaudaraan tetap jalan di tengah perbedaan pendapat. Penyampaian agama dilakukan dengan jalan yang baik tanpa kekerasan, pemaksaan, dan berlebihan. Dalam beragama umat Islam harus berpegang pada pandangan ulama mujtahid mazhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’i, ulama salaf lainnya, atau jumhur ulama. Ia berpesan agar menghindari pandangan-pandangan gharib. (As-Shabuni, 1983 M: 39, 41, 42).
Syekh M Ali As-Shabuni berpesan agar umat Islam untuk waspada terhadap mereka yang mengaku ustadz dan ustadzah atau mengaku memiliki ilmu agama dan menyukai popularitas bahkan dengan jalan mencemarkan nama baik para ulama, menjelekkan imam-imam mazhab, dan mengecam ulama-ulama salaf terkemuka yang jelas terbukti keulamaannya. Menurutnya, kita berada di suatu zaman yang digambarkan Rasulullah, di mana banyak orang-orang bodoh diangkat sebagai pemuka agama yang berfatwa tanpa ilmu. (As-Shabuni, 1983 M: 43).
Kepada mereka hari ini yang sok “salaf” atau mutasallifun, Syekh Ali As-Shabuni bertanya, apakah pengobaran pertikaian di tengah umat Islam dalam urusan furu’iyah itu bagian dari akhlak ulama salaf? Apakah mengafirkan orang beriman, menyesatkan umat Islam, menganggap bodoh ulama salaf dan khalaf, dan menuduh para ulama sebagai ahli bid’ah dan bertentangan dengan sunnah sebagai bagian dari akhlak ulama salaf? Apakah mengambil pandangan yang gharib itu bagian dari tradisi ulama salaf? (As-Shabuni, 1983 M: 44).
(Kepada kaum salafi), biarlah umat Islam mengamalkan masalah furu’iyah sesuai dengan pandangan imam mazhabnya, tanpa perlu diseragamkan. Biarkan umat Islam berzikir berjamaah atau sendiri, shalat tarawih 8 atau 20 rakaat, daripada mereka berkumpul di tempat maksiat.
Yang terpenting adalah semangat persatuan dan persaudaraan/ukhuwwah, bukan keseragaman. Jangan buat ragu ibadah umat Islam. Jangan pernah menuding ulama salaf dan imam-imam mazhab sebagai ahli bidah. Shalat tarawih 8 atau 20 rakaat tidak masalah. Seandainya umat Islam semua tidak melakukan shalat tarawih sama sekali, niscaya “dosanya” lebih ringan dibandingkan mengobarkan perpecahan dan permusuhan di tengah umat Islam itu sendiri karena shalat tarawih itu sunnah. Sedangkan persatuan dan persaudaraan umat adalah wajib sebagaimana ayat “Wa’tashimū bi hablillahi jami’an wa lā tafarrqū”. Bagaimana bisa sekelompok umat terpecah belah hanya karena mengamalkan sunnah dan mengabaikan persatuan dan persaudaraan yang wajib? (As-Shabuni, 1983 M: 45).
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa, problem kemunduran umat Islam bukan bukan karena soal taklid atau bukan taklid seperti kesalahan banyak orang awam bahkan akademisi di kampus-kampus Islam di Indonesia dan di luar negeri, tetapi soal salah paham dalam menyikapi mana wilayah furu’iyah-khilafiyah yang fleksibel dan tidak perlu diskusi dan masalah usuhuliyah agama serta masalah mendasar umat Islam dalam masalah di luar agama.
Syekh Ali As-Shabuni juga ingin mengingatkan bahwa Islam mewajibkan persatuan dan persaudaraan umat Islam, tetapi persatuan bukan keseragamaan. Menurutnya, persatuan-persaudaraan umat Islam berbeda dengan penyeragaman. Umat Islam boleh mengamalkan agama sesuai pandangan mazhab yang diikuti, tetapi tetap harus menjaga persatuan dan persaudaraan. Saling menghormati antarpandangan, bukan saling membid’ahkan, menyesatkan, dan mengafirkan.
Menariknya, Syekh Ali As-Shabuni membahas masalah penting bagi umat Islam ini melalui pintu masuk pembahasan shalat tarawih (dalam Kitab Al-Hadyun Nabawis Shahih fi Shalatit Tarawih yang berjumlah 47 halaman, tidak melalui karyanya yang lain yang berjilid-jilid seperti Shafwatit Tafasir atau Rawa’iul Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam minal Qur’an) yang setiap tahunnya menimbulkan diskusi umat yang tidak selesai dan menurutnya, itu harus disudahi. Wallau a’lam. (Alhafiz Kurniawan)
Leave a Comment